Memejamkan
mata sejenak membuat siapa saja yang merasakan kelelahan dapat relax melupakan sebagian besar
ketidaknyamanan walau hanya sekejap, aku menyandarkan punggung hingga menemukan
posisi dimana raga ini terasa nyaman, kubiarkan otak, mata, dan pikiran
beristirahat dengan tenang, namun tidak seperti kebanyakan orang, dipikiranku
terus muncul peristiwa hari dimana aku seperti menunggu suatu hal yang tak
tersampaikan.
Kepalaku
mulai terasa pusing disaat mencoba untuk terus mengingat kejadian itu, tak tau apakah
itu pernah terjadi ataukah hanya sekelebat dari pemikiranku saja, mataku
memejam dengan sangat rapat dan kurasakan sakit yang menyerang kepalaku, tak
jauh dari cahaya didepan, sesosok lelaki datang dengan senyumannya yang
mengembang membuat hati terasa tenang dan nyaman, aku ikut tersenyum bahagia
saat lelaki itu semakin mendekat berjalan kearahku mengatakan beberapa patah
kata yang tak ku ingat dan tak lama kemudian dia berlari menjauh tak
meninggalkan jejaknya disana.
Lagu
Always be My Baby berputar menjadi
backsound orang-orang yang berlari dan membuat lingkaran mengerubungi sesuatu
sambil berbisik-bisik dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda layaknya datang
idola papan atas yang dikelilingi oleh para fansnya.
Tak lama terlihat beberapa kunang-kunang yang berterbangan dihadapanku, semakin
lama semakin banyak hingga menutupi seluruh pandanganku dari banyaknya orang
yang berkumpul dengan kegelapan yang muncul, dadaku terasa sesak seolah oksigen
yang ada tak mencukupi paru-paruku, tanganku memijat kepalaku yang semakin
pusing. Aku tak tahan lagi dan apa maksud dari semua yang ada didalam pikiran
dan batinku mengapa bisa merasakan yang
sebenarnya tidak ku mengerti, berusaha melupakannya namun membuatku semakin
terpuruk, mataku mulai memanas hingga tanpa kusadari butiran bening melewati
pipiku perlahan, deras, dan semakin tak henti.
Beberapa
menit kemudian aku mendengar suara berat memanggil namaku dengan panik seraya
mengguncang pundakku beberapa kali, nafasku masih berat untuk kembali teratur,
sesekali segukan terdengar diantara butiran bening yang mengalir. “Mitha lu
kenapa ? sadar mitha sadar!” suara Pram menggema hanya terdengar samar dalam
telingaku, aku mulai berteriak sambil mencengkram kepalaku yang terasa sangat sakit
meronta kesakitan menangisi sesuatu yang hampa transparan dan tak terlihat
jelas, aku masih belum menyadari dimana dan mengapa aku ini sebenarnya.
Dalam
hitungan detik aku sudah merasakan kehangatan yang membuatku sedikit tenang,
“Mitha.., tenang mith gue tau apa yang lu rasain gimana sakitnya lu selama ini
dan please, jangan kayak gini lagi
buat gue khawatir, lawan apa yang lu berusaha ingat itu” tangan Pram
menggenggam erat tanganku dan menahan supaya tak mencengkram kepalaku terlalu
erat lagi, aku berusaha sekuat tenaga untuk membiarkan oksigen masuk kedalam
paru-paruku agar nafasku yang berderu tak karuan kembali tenang.
Mataku
mulai membuka perlahan, ku pejamkan mata berulang-ulang berharap agar sisa
cairan bening yang masih menghalangi penglihatanku dengan jelas dapat keluar
turun melewati pipi, sesosok lelaki yang menyadari bahwa aku sudah mulai tenang
dan kembali ke alam sadarku segera melepaskan pelukannya, menatapku dengan
pandangan yang sayu dan tatapan khawatir, tangannya mengusap air mataku dengan
lembut sampai benar-benar tak tersisa, lalu senyumnya mengembang menenangkanku.
“Mith,
gue cuma mau lu nggak memaksakan diri buat inget semua kejadian yang pernah lu
alami karena gue yakin lu bakal bersikap seperti tadi, lu nggak tau kan gimana
bingungnya gue lihat lu udah kayak kerasukan MH tadi ?” Pram membuka
pembicaraan setelah membiarkanku diam selama sekitar sepuluh menit. Pramestyo,
lelaki berperawakan tinggi dengan kulit yang tidak begitu putih dan memiliki
dada yang bidang, matanya seperti bulan sabit dan hanya terlihat seperti garis
saat dia mengembangkan senyumnya yang dapat membuat lawan jenisnya ikut
tersenyum, dia adalah sahabat yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri, Pram
selalu ada disaat aku bahagia maupun terpuruk seperti yang barusaja terjadi.
Aku
tersenyum mendengar ucapannya yang dapat terdengar seperti perpaduan antara
kemarahan dan kekhawatiran pada nada bicaranya, “Iya, maafin gue Pram, abisnya
tuh orang muncul terus di pikiran gue, siapa sih ? nggak sopan banget
masuk-masuk pikiran orang seenak jidatnya” Aku hanya melampiaskan kesedihanku
dengan mencoba bersikap seperti yang biasanya. Pram dan semua keluargaku tidak
pernah mau memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku dan kejadian
beberapa bulan yang lalu dan apa yang menyebabkanku sampai hilang ingatan pada
kejadian sebelumnya, tidak amnesia sepenuhnya sampai melupakan namaku sendiri
hanya saja kejadian bulan-bulan sebelumnya dan orang-orang yang berperan pada
kejadian itu.
“Udah
deh, nggak usah diinget-inget lagi entar lu kumat kayak orang kesurupan MH kan
bahaya, gue aja sampe takut entar bisa-bisa lu bunuh gue juga akhirnya” Pram
menanggapi kata-kataku dan aku tau bahwa dia mencoba untuk mengalihkan
pembicaraan. “Apaan sih lu pram, udah nggak bolehin gue tau tentang apa yang
sebenernya terjadi malah ngatain gue, kenapa sih pada nyembunyiin hal yang buat
gue stress ? nggak lu, nggak adik
gue, nggak mama papa gue, semuanya. kalian sendiri ya yang buat gue jadi seperti
ini jadi jangan sok buat ngatur-ngatur gue!” Alhasil kemarahanku memuncak pada
saat itu, aku yang masih menggebu-gebu
mengalihkan pandangan kearah luar jendela melihat rintian hujan yang mlai
datang membasahi jendela dan gerbong kereta. “Mith, bukan maksud gue dan
keluarga lu buat lu tambah stress,
tapi ini demi kebaikan lu” Kata Pramestyo yang mencoba menjelaskan dengan
perlahan, namun kekesalanku yang belum mereda membuatku tak ingin mendengar
apapun yang dia ucapkan, aku mengambil dan memasang headphone pada kedua
telingaku, kudengar suara desah pasrah dari Pram dan deru gerbong kereta api
yang tak lama berganti dengan lagu See
You Again, terus ku menatap luar jendela hingga akhirnya aku mulai
tertidur.
Kuhirup
udara segar dan masih banyak ditumbuhi pepohonan disekitar, tak seperti Jakarta
yang sudah sesak dengan ratusan mobil dan motor yang berlalu lalang menyebabkan
polusi udara yang sungguh menyesakkan, disini, aku pulang ke Malang tempat
dimana aku dan Pram dilahirkan, dengan polusi yang tak sebanyak di Jakarta, aku
merasakan kebebasan, namun setelah beberapa meter kami berjalan dkeluar dari
stasiun kereta api, dadaku mulai terasa sesak saat melihat kursi taman yang
berada disekitar taman depan stasiun, tak lagi kebebasan yang ada dalam diriku,
perasaan itu muncul kembali, namun tak kuhiraukan untuk datang dan menguasaiku.
Kutengok
kanan dan kiri mencari keberadaan Pram yang ternyata sudah tidak berada
dibelakangku, dulu saat kami bertengkar aku selalu meningalkan Pram tidak
peduli siapa yang duluan yang menyebabkan masalah dan Pram yang selalu datang
dengan membawa es krim untuk menghiburku dan yang pertama kali meminta maaf,
namun sepertinya sekarang Pram sudah lelah untuk peduli denganku karena aku
selalu egois dan tidak mengerti bahwa mungkin Pram mempunyai alasan lain
mengapa dia tidak membiarkan aku mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu.
Aku
memutuskan untuk menuju bangku taman yang berada di seberang stasiun untuk
menunggu kehadiran Pram dan berharap dia datang dengan melakukan apa yang dulu
selalu dia lakukan padaku pada keadaan yang seperti ini.
Aku
merasa bahwa aku pernah ada dalam situasi yang sama seperti sekarang dan sedang
menunggu seseorang di tempat ini, aku seperti mengalami de javu yang entah kapan pernah terjadi, tak lama aku melihat
sesosok lelaki yang sedang berjalan kearahku dengan mengembangkan senyumnya
yang indah, itu Pram, aku ikut mengembangkan senyum saat mengetahui bahwa dia
tidak meninggalkanku seperti apa yang ku pikirkan, namun wajah itu tiba-tiba
berubah menjadi seseorang yang terlihat familiar, aku menyipitkan mataku agar
lebih jelas melihat wajah lelaki itu, beberapa detik kemudian dentuman hebat
seperti menyambar jantungku yang semakin lama berdetak kencang, dadaku sesak,
kepalaku mulai pusing tak bisa menahan perasaan itu yang terus menerus
menguasaiku, aku melihat dia, dia yang selalu mengisi hari-hariku dengan
senyumannya yang menawan, mengajari bagaimana menyayangi orang-orang yang
peduli denganku, membuatku mengerti apa itu yang namanya cinta.
****
Sesosok
lelaki datang dengan senyumannya yang mengembang membuat hati terasa tenang dan
nyaman, aku ikut tersenyum bahagia saat lelaki itu semakin mendekat berjalan
kearahku, namun kuubah ekspresiku menjadi berpura-pura marah saat dia sampai
menghampiriku “kamu dari mana aja ? nggak tau orang capek nungguin ya?” kataku
kesal sambil mengerucutkan bibir, “iya iyaa, masa gitu aja marah sih ? maafin
aku dong bek tadi itu aku udah berangkat setengah jam dari rumah tapi gara-gara
macet jadinya telat sampai sini, jangan ngambek dong bek, bibir mu tuh makin
dower kayak bebek asli hahaha” Gilang menjelaskan panjang lebar diakhiri dengan
mencubit bibirku dan tertawa puas karena dia tau bahwa aku sedang berpura-pura
marah, “dih, sakit tau” kataku mengeluh sambil mengelus bibirku yang memerah
dan mungkin memang sudah mirip dengan bibir bebek, “iya iya maaf lagi, eh bek
tunggu disini bentar ya ada sesuatu buatmu yang ketinggalan dimobil, jangan
kemana-mana yaa” Gilang mengacak rambutku dan segera berlari meninggalkanku, aku
yang penasaran hanya terkekeh melihat tingkahnya yang seperti itu.
Sambil
menunggu kembalinya Gilang, aku memutar lagu Always be My Baby yang merupakan lagu kesukaan kami berdua, lagu
itu dia nyanyikan saat pertama kali menyatakan cintanya padaku secara resmi
saat dimana kebahagiaanku bersamanya dimulai. Aku mendengarkan lagu itu dengan
penuh penghayatan, namun tiba-tiba suara dentuman keras mengalihkan perhatianku
kearah luar taman, kulihat orang-orang berteriak dan berlarian menuju kearah
suara tadi berasal, aku beranjak dari duduk dan berjalan menuju lingkaran yang
sudah dipenuhi dengan orang-orang yang berbisik dengan ekspresi yang berbeda,
dibawah mereka tergeletak sesosok lelaki dengan darah segar yang mengalir, aku
melihat tangannya yang menggenggam wadah cincin yang berbentuk hati dengan
warna merah marun, jantungku berdetak kencang berharap apa yang kupikirkan saat
ini tidaklah benar, aku menyerobot kumpulan orang-orang itu untuk memastikan
bahwa dugaanku memang salah, namun nampaknya tuhan tidak mendengar harapanku,
saat mataku beralih melihat wajahnya, jantungku terasa seperti dihantam
beribu-ribu beton, cairan bening dimataku turun dengan bebasnya dan kakiku
terasa lemas tak sanggup menompang tubuhku sendiri saat mengetahui bahwa lelaki
yang tergeletak tak sadarkan diri itu adalah Gilang, aku tak kuat bertahan
melihatnya hingga pandanganku berubah menjadi gelap.
*****
Perlahan
aku membuka mataku saat mendengar suara tangisan yang arahnya tidak jauh
denganku, badanku terasa sangat lemas saat mengingat kejadian beberapa bulan
lalu yang sempat hilang dari ingatanku, namun hatiku mulai tenang saat tanganku
merasakan kehangatan dari genggaman tangan seseorang yang berada disampingku,
kulihat Pram dengan wajah yang sangat sedih bercampur khawatir segera mengusap
air matanya yang sudah melewati pipi dan berusaha mengembangkan senyumnya saat
tau bahwa aku telah sadar, “gue udah
inget, Pram” kataku juga berusaha tersenyum. “iya, gue tau, gue khawatir banget
sewaktu lu tadi tiba-tiba teriak histeris mukul-mukul kepala lu sendiri dan lu
nggak tau kan betapa takutnya gue lihat lu kayak gitu bahkan lebih parah dari
yang kemaren sambil manggil-manggil nama…..” Pram tidak melanjutkan
pembicaraannya dan memilih untuk memalingkan wajah walaupun aku mengetahui siapa
nama yang akan Pram sebutkan, “Pram, aku mau ke makamnya Gilang” kataku yang
membuat Pram menoleh lagi kearahku, dia menghela nafas dan hanya menganggukkan
kepalanya tanda setuju.
Aku
membiarkan lututku menyentuh rerumputan hijau dan angin yang menerpa rambutku
dengan halusnya, seolah angin pun menyambut kehadiranku di antara nisan-nisan
yang terlihat kusam, Gilang Aditya bin Ismail, Lahir : Malang, 20 Februari
1993, Wafat : Malang, Selasa 26 Maret 2013, tertulis beberapa kalimat yang
menyebabkan beberapa sayatan batin pada diriku, mengikhlaskannya adalah salah
satu cara agar dia bahagia dialam yang sudah berbeda denganku, kubiarkan butir
cairan bening menetes perlahan melewati pipiku ikut merasakan perihnya
kebahagiaan yang telah kandas dan hanya tersisa beberapa kenangan dalam
benakku.
Ingatanku
telah kembali dan aku tak akan membiarkan kenangan yang kulalui bersamanya
hilang tanpa jejak seperti yang sebelumnya terjadi, meskipun saat aku
kehilangan beberapa memori terakhirku bersamanya, dia selalu ada di dalam benak
dan kerinduanku. good bye senyummu
yang menawan dan menenangkan, good bye
kamu yang selalu membuatku tertawa atas tingkah konyolmu, good bye kamu yang mengajarkanku arti ketulusan, good bye kamu yang selalu mencintaiku
sampai akhirmu, good bye……. GILANG.